Andi Gustaf Hutabarat |
MENYOAL
PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR
37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
Oleh : Andi Gustaf Hutabarat
Supaya permohonan
putusan pailit dapat diterima oleh pengadilan haruslah memenuh syarat-syarat kepailitan. Syarat-syarat
kepailitan tiada lain adalah beberapa hal yang harus dipenuhi untuk dapat
dinyatakan pailit oleh pengadilan. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan debitor yang mempunyai dua atau lebih
Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Mengenai sayarat-syarat sebagaimana disampaikan diatas kemudian
haruslah dibuktikan melalui proses pembuktian yang sederhana. Sebagaimana
diketahui dalam sebuah peradilan proses
pembuktian memegang peranan yang vital di dalam penyelesaian perkara. Melihat dari
penjelasan pasal mengenai pembuktian sederhana ini belum menjelaskan secara
detail mengenai bagaimana pembuktian sederhana itu dilakukan sehingga
pelaksanaan dan penafsirannya masih sepenuhnya dilakukan oleh para majelis
hakim pengadilan niaga yang sedang memeriksa perkara kepailitan itu.
Tidak adanya
definisi dan batasan yang jelas dalam penggunaan pembuktian sederhana sehingga
membuka perbedaan yang semakin lebar di antara para hakim dalam menafsirkan
pengertian pembuktian sederhana dalam menyelesaikan permohonan kepailitan. Hal
mana kadangkala hakim dalam menangani perkara kepailitan membaca sebuah
peraturan hanya dengan kacamata positivistic
legal thinking menjadikan hakim tidak relevan dalam menangani kasus
kepailitan. Menurut pendapat ahli, pembuktian
sederhana dapat dilakukan apabila pihak termohon atau debitor pailit tidak
mengajukan exeptio non adimpleti
contractus (eksepsi yang menyatakan bahwa kreditor sendiri yang lebih dahulu tidak
berprestas). Exeptio non adimpleti
contractus ini terdapat dalam perjanjian timbal-balik, yang menyebabkan
eksistensi utang masih diperdebatkan, sehingga pembuktiannya tidak dapat
dilakukan secara sederhana dan cepat.
Sebenarnya untuk menjelaskan pembuktian sederhana tersebut dapat dilihat
dalam perbandingannya melalui undang-undang kepailitan yang pernah diberlakukan
di Indonesia. Pada masa berlakunya faillissements-verordening dan beberapa putusan pada masa berlaku undang-undang ini dapat yaitu yang menyatakan debitor
dalam keadaan berhenti membayar, debitor menolak melakukan pembayaran, memiliki
lebih dari satu kreditor, dan debitor tidak berprestasi kepada kreditor, baik
prestasi yang berupa barang maupun uang. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 pembuktian
secara sederhana bahwa terdapat dua atau lebih kreditor, terdapat minimal satu utang yang tidak
dibayar oleh debitor, utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Sedangkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal
2 ayat (1) UU menyebutkan bahwa debitor yang mempunyai dua
atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih.
Pelaksanaan pembuktian sederhana
pada kenyataannya tidak jarang terjadi inkonsistensi sebagimana ditentukan
dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan undang-undang
tersebut merupakan produk hukum nasional yang menjamin kepastian hukum,
perlindungan hukum, penengakan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. Tetapi
pada kenyataannya tidak memberikan kepastian hukum, karena secara faktual untuk
membuktikan utang sebagaimana dimaksud para pemohon harus menggugat perdata
dahulu debitur di peradilan umum disebabkan oknum-oknum pengusaha juga membuat
pembuktian utang tersebut menjadi tidak sederhana.
Sebagai ilutrasi yang dapat menggambarkan hal tersebut misalnya:
Pengusaha A dan konsumen B melakukan perjanjian pembanguna unit apartemen.
Sesuai dengan perjanjian konsumesn B telah memenuhi kewajiban sebagaimana telah
diperjanjikan, tetapi sampai dengan waktu yang telah ditentukan Pengusaha A
tidak kunjung menyerahkan unit apartemen kepada konsumen B. Hal tersebut pun
ternyata tidak hanya dialami oleh konsumen B tetapi dialami oleh konsumen
lainya sehingga para konsumen mengajukan permohonan pailit terhadap Pengusaha
A. Dalam proses persidangan terungkap fakta hukum bahwa dalam usaha pembangunan
unit apartemen tersebut Pengusaha A bekerjasama dengan pegusaha C, pun atas
keterlambatan penyelesaian unit apartemen tersebut antara Pengusaha A dan pegusaha C telah terjadi pengalihan
tanggungjawab yaitu kepada Pengusaha C
yang dibuktikan dengan putusan pengadilan dimana kemudian Pengusaha C ternyata juga merupakan perusahaan luar negeri.
Berdasarkan ilustrasi tersebut dikaitkan dengan ketentuan pembuktian sederhana
maka sangat sulit atau bahkan mustahil bagi konsumen untuk membuktikan secara
sederhana utang dari debitor “deplover nakal” yang mana sebenarnya hal tersebut
sudah disiapkan oleh pengusaha sebagai skema awal untuk menghindari permohonan
pailit atas dirinya.