STOP BULLYING! PELAKU ANAK DAPAT DIPIDANA!
Pristina Sari Ananda Tarigan, S.H
Bullying merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang kompleks dan meluas yang mempengaruhi anak-anak
dari segala usia dan orang dewasa. Pemahaman saat ini tentang
bullying sebagai fenomena sosial dan budaya yang terkait dengan
konsekuensi fisik dan psikologis jangka panjang
yang serius bagi para pengganggu, korban, dan mereka yang berosilasi diantara
kedua peran (korban pengganggu). Bullying merupakan perilaku agresif yang disengaja untuk menyebabkan
ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain yang menekankan pada faktor motivasional dari pelaku bullying dan
memberikan gambaran terhadap
tujuan di balik
perilaku mereka.
Bentuk bullying berubah
sejalan dengan usia: bullying di
taman bermain (playgound bullying), kekerasan seksual, penyerangan secara
berkelompok, dating violence, marital
violence, child abuse, kekerasan
di tempat kerja, dan berbagai jenis kekerasan lain. Bullying termasuk bullying secara fisik (misalnya: memukul,
menendang), bullying verbal
(misalnya: olok-olok, ancaman), manuver
psikologis (misalnya: rumor, pengucilan), segala jenis perilaku
yang membahayakan atau mengganggu, dimana
perilaku tersebut berulang
dalam waktu yang berbeda, dan terdapat kekuatan
yang tidak seimbang
(orang/kelompok yang lebih berkuasa menyerang orang atau kelompok
yang kurang memiliki kekuasaan) (Pepler dan Craig,
1997, dalam Maliki, dkk, 2009).
Sebagian anak menjadi
target bullying karena berasal
dari latar belakang
etnik, keyakinan, ataupun
budaya yang berbeda dari kebanyakan anak di lingkungan tersebut.
Sebagian anak yang lain juga menjadi
target dikarenakan mereka memiliki kemampuan atau bakat istimewa. Ada pula
anak- anak yang menjadi korban bullying karena mereka memiliki
keterbatasan kemampuan tertentu, misalnya mengalami
kesulitan membaca atau kesulitan berhitung. Hal-hal tersebut merupakan karakteristik khas korban bullying yang
bersifat eksternal. Selain karakteristik eksternal tersebut, ada jenis
karakteristik internal yang khas dari korban bullying yang seringkali justru menjadikan mereka sebagai korban berkepanjangan
dari bullying.
Anak dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana
menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam pasal 54 jo pasal 9 ayat (1a) dituliskan bahwa: “Anak di dalam dan di lingkungan
satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan
kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, sesama peserta
didik, dan/atau pihak lain.” Pasal 9 ayat (1a): “setiap anak berhak mendapatkan
perlindungan di satuan Pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, sesama peserta
didik, dan/atau pihak lainnya”. Perlindungan bagi anak di lingkungan pendidikan merupakan tanggung jawab dari guru,
staf pendidik, pemerintah dan masyarakat, sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 Pasal 54 ayat (2) yaitu “perlindungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat”.
Sarana hukum pidana melalui sistem Peradilan
Pidana termasuk Peradilan
Pidana Anak, bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA),
menyebutkan “Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses
penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan
setelah menjalani pidana” untuk mengajukan seorang
anak ke depan sidang pengadilan, terdapat batasan umur layak
tidaknya anak tersebut diajukan di depan persidangan. Secara eksplisit dapat dilihat
pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 1 butir 1 yaitu “Anak adalah
orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin” dan Pasal 4 ayat (1) yaitu “Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah
sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin. Dari kedua pasal tersebut menunjukkan bahwa yang disebut sebagai anak yang dapat dibawa ke sidang anak hanyalah
anak yang berumur antara 8 tahun sampai 18 tahun dan belum pernah kawin.
Terhadap anak yang walaupun belum
mencapai 18 tahun tetapi telah menikah, secara a contrario tidak dapat diajukan
ke sidang anak, tetapi ke sidang orang dewasa berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Batas umur 8 tahun bagi anak nakal untuk diajukan ke persidangan anak karena didasarkan atas
pertimbangan: sosiologis, psikologis dan pedagogis, yang pada dasarnya
anak yang belum berusia 8 tahun, dianggap
belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya (penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU pengadilan Anak).
Sehubungan dengan sanksi yang dapat diberikan terhadap anak nakal telah diatur dalam Undang-undang Pengadilan Anak yang secara garis besar, sanksi yang dapat dijatuhkan bagi
anak yang telah melakukan kenakalan terdiri dari dua yaitu: sanksi pidana dan sanksi tindakan. Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi
tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan dari ide dasar
yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan
memberi penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan
akibat perbuatannya. Selain ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana
juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap
perbuatan si pelaku.
Sanksi bagi anak nakal yang berupa sanksi
pidana, terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Untuk pidana
pokok, terdapat 4 (empat) macam sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal 23 ayat (2), yaitu:
1) Pidana penjara.
2) Pidana kurungan.
3) Pidana denda.
4) Pidana pengawasan.
Sedangkan mengenai
pidana tambahan berdasarkan pasal 23 ayat (2) ada dua, yakni:
1) Perampasan barang-barang
tertentu2) Pembayaran ganti rugiJenis sanksi hukuman yang kedua bagi anak nakal adalah berupa
Tindakan.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan anak, sanksi
tersebut ada tiga macam, yaitu:
1) Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh.
2) Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan
pembinaan, dan latihan kerja.3) Menyerahkan
kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang
pendidikan pembinaan, dan latihan kerja.
Penjatuhan sanksi hukum berupa tindakan tersebut dapat
disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim (Pasal
24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997),
yang dimaksud dengan teguran adalah peringatan dari hakim baik secara
langsung terhadap anak yang dijatuhi
tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua asuhnya,
agar anak tersebut
tidak mengulangi perbuatan
yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan.
Sedangkan syarat tambahan
misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada Pembimbing Kemasyarakatan.